Beberapa waktu yang lalu, kita telah membahas tentang hukum masturbasi menurut
islam. Nah kali ini kita masih membahas tentang hukum masturbasi,
namun lebih spesifik lagi. Sebab lazimnya masturbasi adalah kegiatan
para pria. Di kesempatan kali ini kita kana membahas tentang hukum masturbasi atau onani bagi wanita.
Fantasi dan onani hukumnya sama saja bagi
laki-laki dan wanita. Sebagaimana sudah sering kami bahas sebelumnya tentang
onani, maka hukumnya mengikat bukan saja bagi laki-laki namun juga wanita.
Masalah yang berkaitan dengan onani atau dalam bahasa arabnya disebut istimna`
banyak dibahas oleh para ulama. Sebagian besar ulama mengharamkannya namun ada
juga yang membolehkannya.
1. Yang mengharamkan: Umumnya para ulama
yang mengharamkan onani berpegang kepada firman Allah SWT :"Dan
orang-orang yang memelihara kemaluannya kecuali terhadap isterinya atau hamba
sahayanya, mereka yang demikian itu tidak tercela. Tetapi barangsiapa mau
selain yang demikian itu, maka mereka itu adalah orang-orang yang melewati
batas."
(Al-Mu'minun: 5-7)
Mereka memasukkan onani sebagai perbuatan
tidak menjaga kemaluan. Dalam kitab Subulus Salam juz 3 halaman 109 disebutkan
hadits yang berkaitan dengan anjuran untuk menikah: Rasulullah SAW telah
bersabda kepada kepada kami : "Wahai para pemuda, apabila siapa
diantara kalian yangtelah memiliki baah (kemampuan) maka menikahlah, kerena
menikah itu menjaga pandangan dan kemaluan. Bagi yang belum mampu maka
puasalah, karena puasa itu sebagai pelindung.” HR Muttafaqun `alaih.
Di
dalam keterangannya dalam kitab Subulus Salam, Ash-Shan`ani menjelaskan bahwa
dengan hadits itu sebagian ulama Malikiyah mengharamkan onani dengan alasan
bila onani dihalalkan, seharusnya Rasulullah SAW memberi jalan keluarnya dengan
onani saja karena lebih sederhana dan mudah. Tetapi Beliau malah menyuruh untuk
puasa.
Sedangkan Imam Asy-Syafi`i mengharamkan onani dalam kitab Sunan
Al-Baihaqi Al-Kubro jilid 7 halaman 199 dalam Bab Onani ketika menafsirkan ayat
Al-Quran surat Al-Mukminun…Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya. Begitu juga
dalam kitab beliau sendiri Al-Umm juz 5 halaman 94 dalam bab Onani.
Imam Ibnu
Taymiyah ketika ditanya tentang hukum onani beliau mengatakan bahwa onani itu
hukum asalnya adalah haram dan pelakunya dihukum ta`zir, tetapi tidak seperti
zina. Namun beliau juga mengatakan bahwa onani dibolehkan oleh sebagian
shahabat dan tabiin karena hal-hal darurrat seperti dikhawatirkan jatuh ke zina
atau akan menimbulkan sakit tertentu. Tetapi tanpa alasan darurat, beliau (Ibnu
Taymiyah) tidak melihat adanya keringanan untuk memboleh onani.
2. Yang membolehkan: Diantara para ulama
yang membolehkan istimna` antara lain Ibnu Abbas, Ibnu Hazm dan Hanafiyah dan
sebagian Hanabilah. Ibnu Abbas mengatakan onani lebih baik dari zina tetapi
lebih baik lagi bila menikahi wanita meskipun budak.
Ada seorang pemuda mengaku
kepada Ibnu Abbas "Wahai Ibnu Abbas, saya seorang pemuda dan melihat
wanita cantik. Aku mengurut-urut kemaluanku hingga keluar mani." Ibnu
Abbas berkata"Itu lebih baik dari zina, tetapi menikahi budak lebih baik
dari itu (onani).
Mazhab Zhahiri yang ditokohi oleh Ibnu Hazm dalam
kitabnya Al-Muhalla juz 11 halaman 392 menuliskan bahwa Abu Muhammad
berpendapat bahwa istimna` adalah mubah karena hakikatnya hanya seseorang
memegang kemaluannya maka keluarlah maninya.
Sedangkan nash yang
mengharamkannya secara langsung tidak ada. Sebagaimana dalam firman Allah: "Dan
telah Kami rinci hal-hal yang Kami haramkan" Sedangkan onani bukan
termasuk hal-hal yang dirinci tentang keharamannya maka hukumnya halal.
Pendapat mazhab ini memang mendasarkan pada zahir nash baik dari Al-Quran
maupun Sunnah.
Sedangkan para ulama Hanafiyah (pengikut Imam Abu Hanifah)dan
sebagian Hanabilah (pengkikut mazhab Imam Ahmad) -sebagaimana tertera dalam
Subulus Salam juz 3 halaman 109 dan juga dalam tafsir Al-Qurthubi juz 12
halaman 105- membolehkan onani dan tidak menjadikan hadits ini tentang pemuda
yang belum mampu menikah untuk puasa diatas sebagai dasar diharamkannya onani.
Berbeda dengan ulama syafi`iah dan Malikiyah. Mereka memandang bahwa onani itu
dibolehkan. Alasannya bahwa mani adalah barang kelebihan. Oleh karena itu boleh
dikeluarkan, seperti memotong daging lebih. Namun sebagai cataan bahwa ada dua
pendapat dari mazhab Hanabilah, sebagian mengharamkannya dan sebagian lagi
membolehkannya.
Bila kita periksa kitab Al-Kafi fi Fiqhi Ibni Hanbal juz 4
halaman 252 disebutkan bahwa onani itu diharamkan. Ulama-ulama Hanafiah juga
memberikan batas kebolehannya itu dalam dua perkara:
1. Karena takut berbuat zina.
2. Karena tidak mampu kawin.
Pendapat Imam Ahmad memungkinkan untuk
kita ambil dalam keadaan gharizah itu memuncak dan dikawatirkan akan jatuh ke
dalam haram. Misalnya seorang pemuda yang sedang belajar atau bekerja di tempat
lain yang jauh dari negerinya, sedang pengaruh-pengaruh di hadapannya terlalu
kuat dan dia kawatir akan berbuat zina. Karena itu dia tidak berdosa
menggunakan cara ini (onani) untuk meredakan bergeloranya gharizah tersebut dan
supaya dia tidak berlaku congkak dan gharizahnya itu tidak menjadi ulat.
0 komentar:
Posting Komentar